SERPIHAN SAYAP MALAIKAT

SERPIHAN SAYAP MALAIKAT
Karya : Ahmad Solehudin (Kang Amsol)
      
      Bandung, New Delhi 2050
            Dengan langkah yang ringan tanpa arah dan tujuan yang pasti, lelaki itu berjalan menyusuri jalanan rel kereta api, dia tidak mengenakan sehelai kainpun di tubuhnya. Wajah yang polos, lugu, bola mata yang besar serta kulit putih bersih menjadikan dia sebagai pusat perhatian khalayak orang banyak di sekitar rel kereta api yang sedang berlalu lalang kesana kemari. Berbagai ekspresi dan reaksi dilakukan orang-orang ketika melihat sosok lelaki itu tanpa mengenakan busana. Ada yang menutup kedua matanya dengan kedua telapak tangan mereka karena mungkin merasa jijik, ada yang sampai hati menertawakannya karena mungkin terlihat lucu dan aneh, ada pula yang merasa iba kepadanya karena terlihat dari ekspresi wajahnya yang sedih serta menggeleng-gelengkan kepala, bahkan ada pula yang berteriak menghinanya “dasar orang gila, idiot tak punya malu...”. Akan tetapi lelaki itu tak menghiraukan sedikitpun dengan apa yang telah orang-orang lakukan terhadapnya, dia terus berjalan di jalanan rel dengan pandangan tetap ke depan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
            Tak lama kemudian langkahnya seolah terhenti ketika dia melihat ada kerumunan orang banyak di depannya, bola matanya yang besar itu terus memperhatikan ke arah kerumunan orang-orang itu, sampai terdengar suara aneh yang bersumber dari kerumunan itu.
“pritt...pritt...pritt...”. suara benda kecil yang bersumber dari dua orang petugas stasiun kereta api yang berlari menghampiri lelaki itu. Lelaki itu tak bergerak sedikit pun dari tempat dia berdiri, malahan matanya yang tadi sedang memperhatikan kerumunan, kini berbalik ke arah kepada kedua orang petugas yang sedang berlari menghampirinya. Dia merasa dirinya itu sama dengan dua orang itu dari mulai atas kepala hingga ujung kaki, namun ada yang terlihat berbeda yaitu warna kulit. Dirinya putih sedangkan kedua petugas itu berwarna hijau.
“hey...orang gila, idiot pergi kau dari sini!”. Teriak salah satu petugas kepadanya.
Akan tetapi lelaki itu tidak menghiraukan ucapan petugas itu, dia malah fokus memperhatikan kedua petugas itu hingga tidak lepas dari pandangannya, sesekali tangannya menggapai untuk memegangi topi, baju dan celana yang di kenakan kedua petugas itu dengan penuh keheranan.
“hey...idiot, kamu dengar tidak? Pergi kamu dari sini!”.  Teriak petugas yang satunya lagi.
Reaksinya pun tetap sama dengan yang tadi, sampai-sampai kedua petugas itu merasa kesal terhadapnya, akhirnya dia di seret oleh kedua petugas itu keluar dari jalur rel kereta api tempat dia berdiri, tanpa perlawanan lelaki itu di bawa keruangan kecil yang tidak jauh dari stasiun. Di dalam ruangan lelaki itu melihat sebuah meja hitam dan tiga kursi yang saling berhadapan mengelilingi meja.
“duduk!”. Perintahnya.
Lelaki itupun duduk di salah satu kursi dengan matanya yang tidak bisa diam, dia terus melihat-lihat ke sekeliling ruangan. Kedua petugaspun ikut duduk di kursi yang lain, sehingga ketiga kursi itu terisi penuh. Salah seorang petugas berdiri dan mengambilkan baju bekas untuk lelaki itu.
“pakai ini!”. Perintahnya.
Lelaki itu kebingungan, apa yang harus dilakukannya dengan baju itu, tetapi dia teringat ketika berjalan menyusuri rel tadi banyak orang yang sama dengannya, namun warna kulit yang berbeda, bahkan dia memperhatikan kembali kedua petugas itu seolah menyamakan dengan kain yang di pegangnya itu, mungkin barang inilah yang membedakan orang yang satu dengan yang lainnya.
“siapa namamu?”. Tanya salah satu petugas.
***
New York, Amerika Serikat 2050
5000 Mil dari kota Bandung tempat lelaki itu di introgasi oleh kedua petugas. Wanita berparas cantik, bertubuh mungil, berambut pendek mengenakan rok mini berjalan bak seorang bidadari dengan buku-buku pelajaran di peluk di dadanya. Dia salah satu mahasiswi di Universitas Buffalo, New York jurusan sastra. Langkahnya itu tertuju ke tempat konser pentas puisi seorang seniman, penyair sekaligus penulis terkenal“Kahlil Gibran”.
“One Ticket”. Wanita itu meminta kepada penjual tiket.
“I am Sorry Sist.. the ticket exhausted”. Jawabnya.
“sheettthh.. gara-gara jam tambahan kuliah tadi, jadi gak kebagian tiket nonton pentasnya”. Wanita itu bergumam dan merasa kecewa karena tidak kebagian tiket menonton pentas. Dengan penuh kekecewaan wanita itupun kembali pulang.
”tiket...tiket...tiket...”. salah seorang lelaki menjajakkan satu tiket nonton pentas, sampai terdengar oleh wanita itu. Diapun berlari menghampirinya untuk membeli tiketnya. Namun dari arah yang berlawanan ada seorang lelaki pula yang berlari untuk membeli tiket yang sama sampailah terjadi tabrakan antara keduanya tepat di depan lelaki yang akan menjual tiketnya.
“Saya yang beli tiket itu!”. Wanita itu memintanya.
“Sorry...Saya duluan jadi saya yang berhak miliki tiket ini”. Lelaki itu memotong di depannya dan mengambil tiketnya dari tangan si penjual.
“Saya duluan”. Wanita itu berusaha mengambil tiketnya dari lelaki itu.
“Saya!”.teriak lelaki itu.
Mereka berdua saling adu mulut demi mendapatkan satu tiket itu.
“Sudah...Sudah...jangan bertengkar! 100 Dollar siapa yang mau?”. Tanya lelaki penjual tiket sambil melerai keduanya.
“What??? 100 Dollar???”. Tanya wanita itu terkaget-kaget.
“bukannya 40 Dollar?”. Tanya lelakinya.
“siapa yang mau silahkan bayar, saya mengantri kurang lebih 6 jam untuk mendapatkan tiket ini”. Jelasnya kepada wanita dan lelaki itu.
“ya sudah kamu saja yang beli!”. Perintah wanita itu sambil pergi meninggalkan mereka berdua.
“saya juga tidak jadi beli...Sorry”. Lelaki itu berkata kemudian berlari  mengejar wanita yang tadi.
“Hey...Nona!”. teriak lelaki itu memanggil wanita tadi.
Wanita itupun berhenti dari langkahnya.
“Maaf...buat kejadian yang tadi, tidak sakit kan?”. Lelaki itu meminta maaf sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Oke.. No Problem, aku juga Sorry yah?”. Jawabnya sambil meraih tangannya.
“Ya sudah tidak apa-apa, Namaku Deff Dzulfikar, panggil saja Deff, aku bekerja di kedutaan Pakistan”. Lelaki itu memperkenalkan dirinya.
“Namaku Cristiani, panggil saja Cristin”. Wanita itu juga memperkenalkan dirinya.
Akhirnya mereka berdua pun saling mengenal satu sama lain sampai keduanya saling mencintai. Setiap hari mereka sering bertemu di tempat tabrakan mereka terjadi. Makan bersama, jalan bersama, becanda ria dan lain sebagainya mereka lewati bersama.
Suatu ketika Cristin memberi tahu keluarganya di Bandung lewat telpon bahwa dia sudah memiliki kekasih.
“hallo...Pah...Apa kabar?”. Tanya Cristin kepada Ayahnya lewat telpon.
“yah baik-baik saja nak...”. jawab Ayahnya.
“Pah...Saya disini sudah memiliki kekasih, Namanya Deff Dzulfikar dia Seorang Muslim Pakistan”. Terang Cristin.
“Apa??? Seorang Muslim? Jauhi Dia! Kamu harus tahu nak, menurut ajaran yang telah kita terima dari Pendeta bahwa Muslim itu Munafik dan akan mengkhianati kamu”. Jawab Ayahnya kepada Cristin.
Cristin menangis dan menutup telponnya tanpa berkomentar apa-apa, dia duduk termenung sendirian di Taman depan kampus, memikirkan ucapan Ayahnya yang selalu bilang kata Pendeta inilah, Pendeta itulah, harus begini, harus begitu.
Tak lama kemudian…
“Hey...”. Deff mengagetkan Cristin dari belakang.
“Deff...”. Jawab Cristin dengan kedua tangannya yang cepat-cepat menghapus air mata di pipinya.
“Kamu kenapa?”. Tanya Deff.
“tidak apa-apa, Cuman kelilipan aja. Deff apakah kamu serius mencintaiku? Apakah kamu mau menikahiku?”. Tanya Cristin yang mengagetkan Deff.
“Kenapa kamu tanya begitu. Yah aku serius mencintai kamu, tapi kalo untuk...”. Belum selesai Deff bicara Cristin langsung memotong pembicaraannya.
“kalo memang kamu serius besok jam tujuh pagi kita menikah di Gereja, aku tunggu Deff”. Jelasnya dengan meninggalkan Deff.
Keesokkan paginya, Cristin lebih dulu berada di Gereja, sedangkan Deff belum datang. Di dalam gereja Cristin bersama dengan Wanita yang lain menunggu pemanggilan pendeta gereja untuk di nikahkan. Hanya Dia dan seorang wanita di sampingnya yang membawa seikat bunga putih yang belum ada pasangannya.
Sampailah wanita yang disampingnya itu di panggil, sebelum dia menghampiri pendeta, dia menitipkan seikat bunga yang di pegangnya itu kepada Cristin.
“Maaf mbak, bisa tolong pegangin dulu bunganya”. Kata wanita itu sambil memberikan bunganya kepada Cristin.
Tidak lama kemudian datanglah seorang anak lelaki yang memberikan sepucuk surat kapada Cristin.
Maaf aku tidak bisa datang ke acara pernikahan kita, orang tuaku telah melarang keras kepadaku untuk tidak menikah dengan berbeda keyakinan, semoga kamu bisa mengerti dengan keadaan ini, dan satu hal lagi jangan pernah coba untuk menghubungiku...Wassalam” (Isi surat)
Cristin pun pergi meninggalkan gereja dengan isak tangis yang tidak bisa di bendungnya. Dengan penuh kekecewaan Cristin pulang meninggalkan New York dan kembali ke kota Bandung kerumahnya.
Cristin pulang menaikki kereta api jurusan New York-Bandung, selama perjalanan Cristin terus menangis.
Sesampainya di stasiun Kota Bandung, mata Cristin yang berurai air mata seakan terhenti ketika melihat seorang lelaki aneh yang sedang duduk di kursi stasiun kereta.
Lelaki itu memakai assesoris keagamaan. Ada kalung Budha, Hindu, Salib, Tasbe dan lain sebagainya. Bagi Cristin ini adalah sastra, sehingga dia sejenak terlupakan dengan kesedihannya kemudian Cristin menghampiri lelaki itu.
“Bolehkah aku duduk disampingmu?”. Tanya Cristin.
Lelaki itu tidak menjawab apa-apa, melainkan dia memperhatikan Cristin yang berdiri di depannya.
Akhirnya Cristinpun duduk disampingnya.
“Siapa namamu?”. Tanya Cristin kembali sambil mengulurkan tangannya.
Lelaki itu tetap tidak menjawab apa-apa. Tetapi Cristin tidak pantang menyerah untuk mengenalnya, Cristin mencari ide supaya lelaki itu mau berbicara kepadanya.
Cristin membuka tas yang di gendongnya dan mengeluarkan satu buah roti dan memberikan sepotong roti di tangannya itu untuk membujuknya supaya lelaki itu mau berbicara.
Lelaki itu memperhatikan Cristin yang sedang memakan sepotong roti sambil mengikuti cara Dia makan pada sepotong roti yang telah di berikannya. Dengan lahap lelaki itu memakan sepotong roti yang telah di berikan Cristin sampai habis, Cristin pun tertawa terbahak-bahak melihat lahapnya lelaki itu makan.
“Aku tidak punya nama, tetapi orang-orang di sini memanggilku dengan sebutan Idiot”. Lelaki itu berbicara di tengah gelagak tawa Cristin.
“Oh My God...akhirnya kamu bicara juga”. Cristin merasa senang karena dengan sepotong Roti itu Dia berhasil membuat lelaki itu berbicara kepadanya.
“Idiot? Terus kenapa kamu memakai assesoris seperti ini?”. Tanya Cristin dengan menunjuk kalung-kalung yang di pakainya.
“aku tidak tahu, aku ingin pulang, tapi harus kemana, dan aku juga tidak tahu aku ini datang darimana, aku datang tanpa memakai sehelai kainpun di tubuhku, aku dapat baju ini pemberian dari petugas stasiun di sini”. Jelasnya kepada Cristin.
Cristin tidak mengerti dengan apa yang telah di ceritakan lelaki itu, dari mulai nama dan lain sebagainya yang telah di ceritakannya, Cristin mulai menganggap bahwa lelaki ini memang benar-benar Idiot.
“kamu pasti menyangka aku ini Idiot kan? Aku berkata apa adanya, aku tidak bohong, aku memakai ini semua... Saat aku di tangkap oleh petugas stasiun aku tidak mengerti apa-apa dengan tempat ini, akan tetapi ketika itu aku di beri banyak pertanyaan, sama sekali aku tidak menjawab satu pertanyaan pun. Malahan aku yang menanyakan kepada petugas itu. Aku mau pulang, rumahku dimana? Petugas itu menjawab aku tidak tahu, hanya Tuhan yang tahu kamu berasal dari mana. Akhirnya aku di bebaskan oleh kedua petugas itu, berhari-hari aku mencari Tuhan, bertanya kesana-kemari tapi semua orang bilang aku ini idiot, sampai aku menemukan kalung-kalung ini, bahwa ini adalah Tuhan, tapi bagiku ini tidak berguna sama sekali, akan kubuang barang-barang ini”. Cerita lelaki itu kepada Cristin.
Cristin tertawa mendengar ceritanya itu.
“ketika aku mendapat kalung ini, aku berguling-guling terlebih dahulu untuk bertemu Tuhan, akan tetapi Tuhan tidak ada, kemudian kalung yang ini, aku harus membawa lilin dan bernyanyi di hadapannya, tetapi Tuhan tidak ada”. Sampai semua kalung yang ia pakai dijelaskan satu persatu kepada Cristin. Sambung lelaki itu.
“sepertinya ceritanya menarik, boleh diteruskan?”. Tanya Cristin.
“pada saat itu aku telah berpikir, kenapa di tempat ini banyak sekali Tuhan, dan banyak pula persyaratan yang harus di lakukan untuknya, tapi Tuhan tetap tidak ada, apalagi menjawab pertanyaanku. Pada saat itulah aku ingin membuang barang-barang ini, bahwa di tempat ini ada dua Tuhan, pertama adalah Tuhan yang menciptakan kita dan kedua Tuhan yang diciptakan kita, seperti kalung-kalung ini. Banyak orang yang salah dengan Tuhan mereka, harusnya mereka sadar dengan semua ini”. Jelasnya.
Cristin mulai merasa paham dengan ini semua, ia teringat kepada ayahnya, kalau memang semua ini salah, tetapi kenapa ucapan ayah yang menurut pendetanya itu benar tentang Muslim yang munafik.
“Idiot...kalau memang semua orang salah terus siapakah yang benar?”. Tanya Cristin kembali.
Lelaki itu hanya menjawab “suatu saat kamu akan mengerti”. Lelaki itupun pergi meninggalkan Cristin yang masih duduk di kursi stasiun.
Cristin pun mengejar lelaki itu dan terus mengikutinya, apapun yang di lakukannya sangat menarik bagi Cristin untuk di jadikan karya Sastra.
Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, Cristin dan si Idiot semakin akrab, mereka menghabiskan waktu bersama-sama, ketika Cristin merasakan kesedihan lelaki itulah yang selalu menghiburnya.
Suatu ketika lelaki itu merasa jatuh cinta kepada Cristin, dia menuliskan kata “I LOVE CRISTIN” di salah satu kartu nama.
“Cristin aku itu belum punya nama tolong kasih aku nama yang bagus di kartu nama ini”. Si Idiot memberikan beberapa kartu nama dengan maksud menyatakan cinta kepada Cristin.
Cristin menerima lembaran kartu nama itu dan memilihkan nama untuknya.
“Resfa? Tidak, Mohammed? Tidak, Abshor? Tidak, Deff?...”. Cristin berhenti ketika melihat kartu nama Deff.
“kenapa? Terus cari lagi yang bagus untukku”. Paksa si Idiot.
“Deff?..” Gumam Cristin dengan air mata mengalir di pipinya.
“ada apa dengan Deff?”. Tanya si Idiot.
Akhirnya Cristin menceritakan semuanya kepada si Idiot itu tentang hubungannya dengan Deff di kota New York.
“Tapi dia telah membohongiku, benar kata Ayah Muslim itu munafik”. Jelasnya.
Dengan perasaan sedih lelaki itu menjelaskan kepada Cristin bahwa bukan Muslim yang Munafik, bukan Deff yang salah. Tapi Ayahnya telah salah, dan Cristin pula yang telalu percaya atas perkataan ayahnya dari seorang pendeta.
“Siapa yang memberikan Surat itu? Bukan Deff langsung kan yang memberikannya? Tidak ada nama Deff juga kan di surat itu dan kamu di Gereja tidak sendirian kan? Tapi bersama seorang wanita yang membawa bunga putih yang sama tidak ada pasangannya, kemudian dia menitipkan bunganya kepadamu. Mungkin anak itu bingung kepada siapa surat ini harus diberikan , akhirnya dia memberikannya kepadamu, dan kamu tidak langsung menelpon Deff pada waktu itu”. Jelas si Idiot.
Cristin mulai tahu bahwa pertanyaannya yang dulu, Siapa yang benar ternyata ini jawabannya. Cristin menangis dan memeluk si Idiot itu.
“sekarang coba kamu hubungi Dia”. Perintah si Idiot.
Cristin pun menghubungi nomor Deff, tetapi nomernya sudah tidak aktif. Cristin terus menangis dan kebingungan karena ingin tahu kepastian dari apa yang telah di jelaskan si Idiot kepadanya.
“Coba nomor yang lain, temannya, kampusnya, atau tempat kerjanya”
Cristin teringat waktu pertama dia bertemu dengan Deff, bahwa Deff bekerja di kedutaan Pakistan, akhirnya Cristin menelpon kedutaan Pakistan.
“...Assalamualaikum...kedutaan Pakistan, dengan siapa saya bicara?”. Jawab telpon disana.
“Hallo...dengan Cristin dari Kota Bandung, New Delhi, apakah ada yang bernama Deff Dzulfikar yang bekerja disana”. Tanya Cristin dengan suara parau.
“Oh My God...Cristin...kamu harus tahu Deff selalu menelpon setiap hari ke sini, dan selalu menanyakan apakah ada telpon dari Cristin dari kota Bandung?, kami selalu menjawab tidak ada dan Deff menutup telponnya, tunggu sebentar kami sambungkan kepada Deff”. Jawab pegawai kedutaan Pakistan.
“Hallo...Assalamualaikum”. suara Deff dari ujung telpon terdengar oleh Cristin.
Cristin terus menangis.
“Hallo Deff, posisi kamu dimana? Cari kursi dan duduklah dengan tenang, karena kamu akan terkaget dengan berita ini. Ada telpon dari Kota Bandung”. Kata pegawai Pakistan.
“Hallo...Deff...”. Cristin memanggil dengan isak tangis.
“Cristin...”. Deff pun ikut menangis.
“apakah kamu datang ke gereja? Kenapa kamu tidak menghubungi aku Deff?. Tanya Cristin.
“Ya aku datang, tapi aku membaca surat kamu, bahwa kita tidak bisa menikah, disana tertulis jangan coba hubungi kamu, tapi aku merasa bahwa kamu akan menghubungiku”. Jawab deff.
Mereka berdua pun saling menangis, dan akan bertemu lagi.
Terima kasih idiot kamu mengajarkan banyak hal kepadaku, arti Tuhan yang sebenarnya, arti hidup, bahkan arti Cinta di Dunia ini. Mungkin kau lah utusan Tuhan wahai Serpihan Sayap Malaikat bagi diriku dan dunia ini.



Previous
Next Post »
0 Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.